KONDISI DAN KARAKTERISTIK EKOSISTEM LAUT PERMUKAAN
Hendry Firmansyah
Jurusan Pendidikan Biologi IKIP PGRI Semarang
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Laut
merupakan bagian dari ekosistem perairan yang memiliki ciri-ciri antara lain:
bersifat continental, luas dan dalam, asin, memiliki arus dan gelombang,
pasang-surut, dan dihuni oleh organisme baik plankton, neuston maupun bentos.
Ekosistem laut yang luas dan dalam menyebabkan terjadinya variasi fisik-kimiawi
lingkungan yang akan menjadi faktor pembatas bagi kehidupan organisme.
Laut digambarkan dalam istilah zona atau daerah: (1)
daerah litoral, atau daerah pasang surut, berbatasan dengan daratan,
biota daerah ini adalah ganggang yang hidup sebagai bentos, teripang, bintang
laut, udang-udang kecil, kepiting , serta cacing laut; (2) daerah neritik, merupakan
derah laut dangkal, derah ini dapat ditembus cahaya matahari sampai ke dasar.
Kedalamannya sampai 200 m. Biota yang hidup di sini adalah bentos, nekton,
plankton, dan neston; (3) daerah batial, merupakan daerah remang-remang,
kedalamannya antara 200 – 2000 m, produsen tidak ada, biotanya nekton; (4) daerah
abisal, merupakan daerah laut yang kedalamnnya di atas 2000 meter, daerah
ini gelap sepanjang masa, tidak ditemukan produsen.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana karakteristik dari ekosistem laut
permukaan?
2. Bagaimana faktor-faktor fisik yang mempengaruhi
ekosistem laut permukaan?
3. Bagaimana adaptasi organisme yang hidup di laut
permukaan?
C. Rumusan Tujuan
1. Mengetahui karakteristik dari ekosistem laut
permukaan
2. Mengetahui faktor-faktor fisik yang mempengaruhi
ekosistem laut permukaan
3. Mengetahui adaptasi yang dilakukan oleh organisme
laut permukaan.
II.
PEMBAHASAN
EKOSISTEM INTERTIDAL/LITORAL
Zona
intertidal memiliki luas yang sangat terbatas, meliputi wilayah yang terbuka pada
saat surut tertinggi dan terendam air pada saat pasang tertinggi atau separuh
waktu berupa ekosistem terrestrial dan separuhnya berupa ekosistem akuatik.
Walaupun wilayahnya sempit, daerah intertidal memiliki variasi faktor linkungan
terbesar dibanding dengan ekosistem lainnya, dan variasi ini dapat terjadi pada
daerah yang hanya berbeda jarak beberapa sentimeter saja.
A. KONDISI LINGKUNGAN
1. Pasang-Surut
Naik
dan turunnya permukaan air laut secara periodik selama interval waktu tertentu.
Pasang-surut merupakan faktor lingkungan paling penting yang mempengaruhi kehidupan
di zona intertidal. Tanpa adanya pasang-surut yang periodik maka faktor-faktor lingkungan
lain akan kehilangan pengaruhnya. Hal ini disebabkan adanya kisaran yang luas pada
banyak faktor fisik akibat hubungan langsung yang bergantian antara keadaan
terkena udara terbuka dan keadaan terendam air.
Pengaruh
pasang-surut terhadap organisme dan komunitas zona intertidal paling jelas
adalah kondisi yang menyebabkan daerah intertidal terkena udara terbuka secara periodik
dengan kisaran parameter fisik yang cukup lebar. Organisme intertidal perlu kemampuan
adaptasi agar dapat menempati daerah ini. Faktor-faktor fisik pada keadaan ekstrem
dimana organisme masih dapat menempati perairan, akan menjadi pembatas atau dapat
mematikan jika air sebagai isolasi dihilangkan.
Kombinasi
antara pasang-surut dan waktu dapat menimbulkan dua akibat langsung yang nyata
pada kehadiran dan organisasi komunitas intertidal. Pertama,
perbedaan waktu relatif antara lamanya suatu daerah tertentu di intertidal
berada diudara terbuka dengan 45 lamanya terendam air. Lamanya terkena udara
terbuka merupakan hal yang sangat penting karena pada saat itulah organisme
laut akan berada pada kisaran suhu terbesar dan kemungkinan mengalami
kekeringan. Semakin lama terkena udara, semakin besar kemungkinan mengalami
suhu letal atau kehilangan air diluar batas kemampuan. Kebanyakan hewan ini
harus menunggu sampai air menggenang kembali untuk dapat mencari makan. Semakin
lama terkena udara, semakin kecil kesempatan untuk mencari makan dan
mengakibatkan kekurangan energi. Flora dan fauna intertidal bervariasi kemampuannya
dalam menyesuaikan diri terhadap keadaan terkena udara, dan perbedaan ini yang
menyebabkan terjadinya perbedaan distribusi organisme intertidal.
Pengaruh
kedua adalah akibat lamanya zona intertidal berada diudara
terbuka. Pasang-surut yang terjadi pada siang hari atau malam hari memiliki
pengaruh yang berbeda terhadap organisme. Surut pada malam hari menyebabkan
daerah intertidal berada dalam kondisi udara terbuka dengan kisaran suhu
relatif lebih rendah jika dibanding dengan daerah yang mengalami surut pada
saat siang hari.
Pengaruh
pasang-surut yang lain adalah karena biasanya terjadi secara periodic maka
pasang-surut cenderung membentuk irama tertentu dalam kegiatan organisme
pantai, misalnya irama memijah, mencari makan atau aktivitas organisme lainnya.
2. Suhu
Suhu
di daerah intertidal biasanya mempunyai kisaran yang luas selama periode yang
berbeda baik secara harian maupun musiman dan dapat melebihi kisaran toleransi organisme.
Jika pasang-surut terjadi pada kisaran suhu udara maksimum (siang hari yang panas)
maka batas letal dapat terlampaui. Meskipun kematian tidak segera terjadi namun
organisme akan semakin lemah karena suhu yang ekstrem sehingga tidak dapat menjalankan
aktivitas seperti biasa dan akan mati karena sebab-sebab sekunder. Suhu juga dapat
berpengaruh secara tidak langsung yaitu kematian karena organisme kehabisan
air.
3. Ombak
Gerakan
ombak di daerah intertidal memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap organisme
dan komunitas dibanding dengan daerah lautan lainnya. Pengaruh ombak dapat terjadi
secara langsung maupun tidak.
a. Pengaruh
langsung
·
Secara mekanik ombak
dapat menghancurkan dan menghanyutkan benda yang terkena. Pada pantai berpasir
dan berlumpur kegiatan ombak dapat membongkar substrat sehingga mempengaruhi
bentuk zona. Terpaan ombak dapat menjadi pembatas bagi organisme yang tidak
dapat menahan terpaan tersebut.
· Ombak dapat membentuk
batas zona intertidal lebih luas, akibatnya organisme laut dapat hidup di
daerah air yang lebih tinggi di daerah yang terkena terpaan ombak dari pada di
daerah tenang pada kisaran pasang-surut yang sama.
b. Pengaruh
tidak langsung
Kegiatan
ombak dapat mengaduk gas-gas atmosfer ke dalam air, sehingga meningkatkan
kandungan oksigen. Karena interaksi dengan atmosfer terjadi secara teratur dan
terjadi pembentukan gelembung serta pengadukan substrat, maka penetrasi cahaya
di daerah yang diterpa ombak dapat berkurang.
4. Salinitas
Perubahan
salinitas di daerah intertidal dapat melalui dua cara:
a. Zona
intertidal terbuka pada saat surut, dan kalau hal ini terjadi pada saat hujan lebat
maka salinitas akan turun. Apabila penurunan ini melewati batas toleransi bagi
organisme (sebagian besar organisme intertidal stenohalin dan osmokonformer)
maka organisme dapat mati.
b. Pada
daerah intertidal pantai berbatu yang memiliki banyak cekungan, daerah ini
dapat digenangi air tawar yang masuk ketika hujan deras sehingga menurunkan salinitas,
atau memperlihatkan kenaikan salinitas jika terjadi penguapan sangat tinggi
pada siang hari.
5. Substrat
Dasar
Substrat
dasar zona intertidal memiliki variasi yang berbeda dan dapat berupa pasir, lumpur
maupun berbatu. Substrat dasar ini menyebabkan perbedaan struktur komunitas flora
dan fauna yang berbeda.
B. ADAPTASI ORGANISME INTERTIDAL
1. Daya
tahan terhadap kehilangan air
Organisme
yang hidup di daerah intertidal harus memiliki kemampuan untuk menyesuaikan
diri terhadap kehilangan air yang cukup besar selama berada di udara terbuka.
Mekanisme sederhana ditunjukkan oleh hewan-hewan yang bergerak, seperti kepiting,
anemon, Citon, dll. Hewan ini akan dengan mudah berpindah dari daerah terbuka di
intertidal kedalam lubang, celah atau galian yang basah atau bersembunyi
dibawah algae sehingga kehilangan air dapat dihindari. Secara aktif organisme
ini mencari microhabitat yang ideal. Untuk organisme yang tidak memiliki
kemampuan untuk aktif berpindah tempat seperti genera algae maupun beberapa
genera bivalvia mereka beradaptasi untuk mengatasi kehilangan air yang besar
hanya dengan struktur jaringan tubuhnya. Genera Porphyra, Fucus dan Enteromorpha
misalnya sering dijumpai dalam keadaan kisut dan kering setelah lama
berada di udara terbuka, tetapi jika air laut pasang kembali mereka akan cepat
menyerap air dan kembali menjalankan proses hidup seperti biasa.
Mekanisme
lain organisme intertidal untuk beradaptasi terhadap kehilangan air adalah
melalui adaptasi struktural, tingkah laku maupun keduanya. Beberapa species
dari teritip, gastropoda (Littorina) dan bivalvia (Mytilus edulis)
memiliki kemampuan untuk menghindari kehilangan air dengan cara merapatkan
cangkangnya atau memiliki opercula yang dapat nmenutup rapat celah cangkang.
2. Keseimbangan
Panas
Organisme
intertidal memiliki keterbukaan terhadap perubahan suhu yang ekstrem dan
memperlihatkan adaptasi tingkah laku dan struktural tubuh untuk menjaga keseimbangan
panas internal. Di daerah tropis organisme cenderung hidup pada kisaran suhu
letal atas sehingga mekanisme keseimbangan panas hampir seluruhnya berkenaan dengan
suhu yang terlalu tinggi. Beberapa bentuk adaptasi al:
a. Memperbesar
ukuran tubuh relatif bila dibandingkan dengan species yang sama. Dengan
memperbesar ukuran tubuh berarti perbandingan antara luas permukaan dengan volume
tubuh menjadi lebih kecil sehingga luas daerah tubuh yang mengalami peningkatan
suhu menjadi lebih kecil. Pada keadaan yang sama tubuh yang lebih besar
memerlukan waktu lebih lama untuk bertambah panas dibanding dengan tubuh yang
lebih kecil
b. Memperbanyak
ukiran pada cangkang. Ukiran-ukiran pada cangkang berfungsi sebagai sirip
radiator sehingga memudahkan hilangnya panas. Contoh Littorina dan Tectarius.
c. Hilangnya
panas dapat juga diperbesar melalui pembentukan warna tertentu pada cangkang.
Genera Nerita, dan Littorina memiliki warna lebih terang dibandingkan dengan
kerabatnya yang hidup di daerah lebih bawah (warna gelap akan menyerap panas).
d. Memliki
persediaan air tambahan yang disimpan didalam rongga mantel seperti pada
teritip dan limfet yang banyaknya melebihi kebutuhan hidup hewan ini.
Persediaan air ini dipergunakan untuk strategi mendinginkan tubuh melalui
penguapan sekaligus menghindarkan kekeringan.
3. Tekanan
Mekanik
Setiap
organisme intertidal perlu beradaptasi untuk mempertahankan diri dari pengaruh
ombak. Gerakan ombak mempunyai pengaruh yang berbeda pada pantai berbatu, berpasir
dan berlumpur sehingga memiliki konsekuensi bentuk adaptasi yang berbeda pada organismenya.
Beberapa bentuk adaptasi al:
a. Melekat
kuat pada substrat, seperti pada Polichaeta, Teritip, Tiram
b. Menyatukan
dirinya pada dasar perairan melalui sebuah alat pelekan (Algae)
c. Memiliki
kaki yang kuat dan kokoh seperti pada Citon dan limfet
d. Melekat
dengan kuat tetapi tidak permanen seperti pada Mytillus melalui bisus yang
dapat putus dan dibentuk kembali
e. Mempertebal
ukuran cangkang, lebih tebal dibandingkan kerabatnya yang hidup di daerah
subtidal
4. Tekanan
Salinitas
Zona intertidal mendapat limpahan air tawar, yang
dapat menimbulkan masalah tekanan osmotik bagi organisme yang hanya dapat hidup
pada air laut. Kebanyakan organisme intertidal bersifat osmokonformer, tidak
seperti organisme estuaria. Adaptasi satu-satunya adalah sama dengan yang
dilakukan untuk melindungi tubuh dari kekeringan yaitu dengan menutup
cangkangnya.
5. Reproduksi
Kebanyakan organisme intertidal hidup menetap atau
melekat, sehingga dalam penyebarannya mereka menghasilkan telur atau larva yang
bersifat planktonik. Reproduksi dapat juga terjadi secara periodik mengikuti
iramna pasang-surut tertentu, seperti misalnya pada pasang-purnama. Contoh
Mytillus edulis, gonad menjadi dewasa selama pasang purnama dan pemijahan
berlangsung ketika pasang perbani.
III.
PENUTUP
A. Kesimpulan
ü Laut
permukaan merupakan ekosistem yang khas, dimana daerah ini masih terpengaruh oleh matahari. Daerah ini
meliputi zona yaitu zona intertidal dan zona neritik.
ü Organism
yang berhabitat di laut permukaan memiliki adaptasi yang khusus, dan umumnya
harus memyesuaikan dengan factor-faktor lingkungan yang selalu berubah.
ü Laut
permukaan yaitu pada zona litoral dan neritik, keadaannya dipengaruhi oleh
pasang surut air laut, suhu, ombak, salinitas, dan substansi dasar.
IV.
DAFTAR
PUSTAKA
Meadows,
P.S., and J.I. Campbell.1993. An Introduction to Marine Science. 2 nd
Edition, Halsted Press, USA. pp: 68 – 85; 165 – 175
Nybakken,
J.W., 1992. Marine Biology An Ecological Apprach. 3 rd edition. Harper
Collins College Publishers, New York
Odum,
E.P., 1994. Dasar-dasar Ekologi. Edisi ke tiga. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta: pp 174 – 200
Sachlan,
M., 1982. Planktonologi. Fakultas Peternakan dan Perikanan UNDIP,
Semarang: pp. 1 -101
Sumich,
J. L. 1999. An Introduction to The Biology of Marine Life. 7 th. ed.
McGraw-Hill. New York. pp: 73 – 90; 239 – 248; 321 – 329
Tidak ada komentar:
Posting Komentar